Penulis : Abdul Kadir Sambolangi, S.S, M.A (Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan)
Jelang peringatan ke-79
ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2024, Pemerintah Kabupaten
Paser memberikan kado istimewa kepada warga di 3 desa yaitu Jone, Tepian Batang
dan Tapis, serta Kelurahan Tanah Grogot. Kado ini dalam bentuk legitimasi terhadap
kepemilikan lahan yang telah kuasai sejak lama, bahkan mungkin hingga ratusan
tahun, namun sejak awal 1980 mereka tidak bisa memiliki lahan itu seutuhnya,
karena Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu menerbitkan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 55/HPL/DA/1982 Tanggal 21 Juni 1982.
Dengan status sebagai
lahan milik negara dan diperuntukkan bagi program transmigrasi, maka lahan itu
seharusnya dipergunakan sebagaimana mestinya. Faktanya, Pemerintah dalam hal
ini Kementerian dan lembaga tidak pernah menggunakan seluruh atau bahkan sebagian
lahan itu untuk transmigrasi. Tidak pernah.
Sehingga dalam
perjalanannya, seiring perkembangan penduduk, ibukota Kabupaten dan desa di
sekitarnya, lahan yang di dokumen tahun 1980 bernama Hak Pengelolaan Lahan HPL
Transmigrasi Desa Jone itu, perlahan berubah. Masyarakat menempati untuk
berbagai kegiatan. Membangun rumah tinggal, tempat usaha, sekolah, rumah
ibadah, atau berkebun. Tak ketinggalan langkah, Pemerintah Kabupaten Paser
membangun beberapa sarana pendidikan, olah raga dan perkantoran di atas
sebagian lahan itu.
Jadi, secara legalitas
namanya memang HPL transmigrasi, tapi fungsinya beda. Namun karena status
sebagai lahan negara, maka semua pihak yang ada di atas lahan itu tak punya hak
kepemilikan. Artinya, bisa sewaktu-waktu diambil sang pemilik.
Puncaknya, pada Januari
2021, ketika sejumlah warga mengeluh kepada Pemerintah Kabupaten Paser karena
memperoleh kesulitan di ATR dalam hal pengurusan administrasi lahan. Ibarat
benang kusut, kesulitan ini menyebar dan menjadi gurita sampai terdeteksi bahwa
lahan yang berstatus tanah negara itu seluas 500,16 hektare.
Pemerintah Daerah cepat
tanggap dan tak ingin membiarkan masyarakat risau dan tenggelam dalam
kegalauan. Begitu dilantik di akhir Februari 2021, Bupati Fahmi Fadli langsung
memberikan instruksi kepada Sekda untuk mengkoordinir pengurusan pengembalian
hak-hak masyarakat.
Namun gerakan cepat ini
ternyata tak semudah yang diharapkan. Ada beberapa kementerian dan lembaga yang
harus ditemui Pemerintah Daerah untuk mengurus HPL Transmigrasi ini. Dua di
antaranya adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Transmigrasi
dan Pembangunan Desa Tertinggal (PDT).
Konsultasi, koordinasi,
dan audiensi dilakukan dengan membulatkan tekad. Setahap demi setahap dan
memerlukan kesabaran ekstra. Berkali-kali Pemerintah Kabupaten Paser, dipimpin
Bupati, Sekretaris Daerah, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, mengajak
instansi terkait menemui pejabat berwenang di dua Kementerian ini. Proses ini
berlangsung hingga 3 tahun setengah.
Nah, hari Senin 29 Juli
2024 adalah puncak dari segala jerih payah dan daya upaya Pemerintah Kabupaten
Paser untuk mengembalikan tanah milik rakyat itu. Pada hari itu, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktur
Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Asnaedi dengan senang hati
menyerahkan surat pengalihan status dari HPL transmigrasi menjadi Area
Pengelolaan Lainnya (APL) kepada Bupati Paser dr Fahmi Fadli.
Senyum tak bisa lepas
dari Bupati Fahmi, yang sejak awal pemerintahannya sudah diberikan pekerjaan
rumah oleh warga dalam menuntaskan ini. Kata orang, ini bagai bisul yang telah
pecah. Karena selama tiga tahun setengah, atau hampir menghabiskan satu periode
kepemimpinan Fahmi – Masyitah, sejumlah instansi bolak balik ke Jakarta
menangani masalah ini.
Pertanyaan kemudian
muncul, adalah sebegitu pentingnya kah urusan ini sehingga pemerintah harus
menghabiskan dana APBD ratusan juta rupiah untuk membiayai para pejabat
rombongan ke Jakarta? Pertanyaan ini kerap terdengar sumbang di setiap
perjalanan pejabat ke eks ibukota RI itu.
Dan untuk menjawab
pertanyaan ini, tidak elok rasanya jika dibebankan kepada Pemerintah Daerah
tanpa meninggalkan aspek subjektifitas. Sebaiknya tanyakan ke pemilik lahan
yang 500 hektar itu, bagaimana rasanya memiliki selembar surat sebagai
legalitas kepemilikan, apa makna sebuah keabsahan atas pengakuan dari sebuah
sertifikat.
Mereka, para pemilik
lahan, kini bisa memanfaatkan lahan seutuhnya yang dimilikinya. Untuk tempat
tinggal, berusaha, ibadah, ataupun beramal. Tidak ada yang akan protes.
Masyarakat kini memiliki
ketenangan. Inilah esensi yang disampaikan David Osborne dalam Reinventing
Government (2013) bahwa tugas Pemerintah ada 2, yaitu menciptakan kesejahteraan
dan memberikan rasa aman. Prosperity and security.
Sebagai catatan tambahan,
bahwa meskipun sudah dapat lampu hijau dari Kementerian ATR, tidak serta merta
lahan-lahan itu alih nama. Ada 1 proses lagi yang harus dilewati pemilik lahan
bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau ATR Kebupaten Paser. Kedua pihak
memang harus ketemu. BPN menyampaikan sosialiasi, dan pemillik lahan mengikuti
prosedur, mekanisme dan tata cara sesuai ketentuan yang berlaku.
Ibarat kata, jelang
peringatan ke-79 ulang tahun Kemerdekaan Republik Indoensia tahun 2024,
Pemerintah Kabupaten Paser telah membuatkan kue tart yang sangat bagus kepada
masyarakat khususnya di 3 desa dan 1 kelurahan itu. Kini tinggal ATR apakah mau
menaruh dan menyalakan lilin di atasnya untuk ditiup oleh masyarakat di 3 desa
dan 1 kelurahan. Bagaimana ATR?
Dirgahayu negeriku.
Masyarakat Paser semoga selalu sejahtera, hidup damai dan sentosa, live happily
ever after, menuju masyarakat yang Maju, Adil dan Sejahtera. (aks)