Berita:Ternyata ke Paser itu cuma satu jam lho

Siaran Pers

Ternyata ke Paser itu cuma satu jam lho


"Ternyata ke Paser itu 12 jam lho." Ungkapan ini terdengar beberapa kali di tengah-tengah kerumunan peserta Rapat Kerja Kehumasan se-Kalimantan Timur di atas geladak kapal Angkatan Laut Kudungga, saat malam mulai menyelimuti Sangatta, Kutai Timur, Selasa 09 Juli 2019.

Salah satu peserta Raker, perempuan, yang saya tebak adalah peserta tuan rumah Kutai Timur menyampaikan hal ini dengan antusias dan setengah berteriak kepada rekannya. Saya juga bisa tebak, kalau dia baru saja dapat informasi terkait lamanya perjalanan itu dari salah satu peserta Raker dari Paser, selain saya. Bisa juga ditebak kalau dia belum pernah ke Paser.

Kami, rombongan peserta Raker Kehumasan dari Paser yang berjumlah enam orang (dipimpin Kabag Pemerintahan Siti Makiah), memang memerlukan waktu selama kurang lebih 12 jam dalam perjalanan, dengan sopir yang termasuk kategori terampil, Ariful Haq. Itu sudah termasuk waktu di fery, lalu salat dan makan. Tidak termasuk kalau mampir di tempat kerabat, atau shopping. Dan ternyata, hitungan ini sama dengan jalur sebaliknya, Sangatta - Tana Paser.

Karena ini perjalanan dinas, maka waktu di perjalanan masing-masing dihitung satu hari. Karena kegiatan Raker berlangsung dua hari, maka otomatis alokasi waktu perjalanan dijadikan empat hari. Kondisi keuangan daerah tidak memungkinkan kami untuk melakukan perjalanan selama empat hari, jadi atas persetujuan semua, perjalanan hanya dihitung tiga hari, dengan akomodasi hanya satu malam.

Lho, koq gitu? Ya mau gimana lagi? Yang penting kan ilmunya, karena narasumber di Raker ini adalah para pakar di bidangnya. Kata teman-teman staf Humas Paser yang ikut: Dina Fitrianty, Hairuni, dan Harmin. Okelah, yang penting ikhlas, kata saya dalam hati. Karena alasan yang sama, kami juga tidak ikut Orientasi Lapangan ke Banyuwangi. 

Kembali ke waktu tempuh Tana Paser – Sangatta. To my surprise, waktu tempuh ini ternyata tidak, atau mungkin belum berubah sejak terakhir kali saya mengunjungi Kutai Timur, 2015 lalu dalam rangka Rapat Koordinasi (Rakor) Bappeda se-Kalimantan Timur. Pada saat Rakor, pimpinan rombongan Paser, Ali Hapsah, waktu itu Sekretaris Bappeda Paser angkat bicara soal waktu tempuh dan dikaitkan dengan infrastruktur jalan. Hal ini disampaikan agar pembicara dari Bappenas bisa mendengarkan aspirasi di daerah untuk membantu meningkatkan kualitas jalan negara itu.

Empat tahun berlalu, memang ada perubahan. Banyak malah. Namun ternyata belum signifikan untuk memangkas waktu tempuh kedua daerah. Mungkin ada orang lain yang bisa lebih singkat dari itu, namun dipastikan kecepatannya di atas rata-rata, dan tidak normal.

Meski waktu tempuh ini termasuk kategori menyedihkan, sebenarnya provinsi lain pun juga mengalami hal yang sama. Bandingkan dengan Sulawesi Selatan, jika pertemuan se-Provinsi dilaksanakan di Kabupaten Selayar, maka peserta dari Toraja Utara perlu waktu lebih dari 10 jam untuk sampai. Begitu juga sebaliknya.

Hanya saja, harus diakui, kalau kondisi infrastruktur jalan di Kalimantan Timur masih banyak yang kurang memadai. Apalagi ini jalan negara. Yang lebih mengenaskan, bertahun-tahun pemerintah di Kalimantan menyampaikan aspirasi agar pembangunan lebih ‘berpihak’ ke Kalimantan, namun rasanya belum terlalu didengar. Terbaru, di salah satu headline news sebuah harian di Kalimantan Timur, edisi Rabu 10 Juli 2019, ada berita tentang Bupati Kutai Kartanegara dengan judul Sumbang ratusan triliun, hanya kembali 2 triliun.

Lalu apa yang diharapkan warga Kalimantan Timur agar bisa memiliki jalan negara yang mulus seperti di Pulau Jawa? Salah satunya adalah wacana ibukota negara pindah ke Kalimantan. Hari Rabu 10 Juli 2019 Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di kantornya mengatakan bahwa lokasi ibukota negara sudah ditetapkan di Kalimantan, namun kepastian lokasi akan diumumkan segera atau tidak terlalu lama lagi oleh Presiden Jokowi.

Jika ini terealisasi, maka terlepas dari pro dan kontra, kita tentu berharap agar pembangunan jalan bisa lebih baik. Namun jika tidak, maka warga Paser masih bisa berharap yang lain: lanjutan pembangunan bandara di Rantau Panjang, pembangunan jembatan Penajam – Balikpapan, atau percepatan pembangunan jalan tol Balikpapan – Samarinda. Sebenarnya masih ada satu lagi, rel kereta api.

Apapun itu, saya bermimpi suatu saat ketika ke Kutai Timur lagi, entah dalam rangka apa, ingin merasakan waktu perjalanan yang lebih singkat. Katakanlah delapan jam melalui darat, atau satu jam melalui udara. Jadi teman-teman kita di Kutai Timur akan mengatakan: Eh ternyata ke Paser itu cuma sejam lho. Amin. (aks)

Bagikan ke :

Banner

shadow

Berita Terkait

Dimuat dalam 0.1791 detik dengan memori 0.95MB.