Berita:Bahasa Paser Jangan Punah, please

Siaran Pers

Tana Paser - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bulan Februari 2020 merilis informasi terkait bahasa daerah, yang menyebutkan bahwa tahun ini ada 11 bahasa daerah yang punah dan 25 lainnya terancam menyusul. Di dalam rilis tersebut disebutkan bahwa kebanyakan yang punah dan terancam punah berasal dari Papua dan Nusa Tenggara.

Memang tidak disebutkan salah satu bahasa dari Pulau Kalimantan, namun informasi ini patut menjadi lampu kuning bagi penggunaan bahasa Paser. Meski tidak ada dalam daftar Kemendikbud RI, bukan berarti bahasa Paser berada di zona aman. Beberapa waktu yang lalu bahkan ada yang memprediksi bahasa Paser akan bertahan dalam sisa waktu 70 sampai 100 tahun lagi.

Ada beberapa alasan yang berpotensi membuat bahasa Paser menjadi salah satu bahasa yang akan mendapat giliran untuk perlahan punah dalam waktu kurang dari satu dekade mendatang.

Pertama, banyak masyarakat Paser merasa malu berbicara dalam bahasa Paser. Pemandangan sangat kontras di Kabupaten Paser, ketika beberapa warga dari suku lain seperti Banjar, Jawa, atau Bugis, (tiga bahasa dari luar yang dominan di Paser) berkomunikasi dalam bahasa daerah mereka, sementara sebagian masyarakat suku Paser malah menggunakan bahasa Indonesia. Lalu, lihatlah etnis Cina di Semarang atau Surabaya, yang dengan sangat percaya diri di tempat umum seperti restoran dan bandara, bercengkerama dalam bahasa Jawa.

Kedua, anak-anak tidak dibiasakan menggunakan bahasa Paser. Banyak anak usia remaja yang mengaku orang tua sampai kakek nenek mereka asli Paser namun dengan bangga mengatakan bahwa mereka tidak pandai berbahasa Paser. Hal ini disebabkan karena dalam percakapan sehari-hari, para orang tua mereka membiasakan berbahasa Indonesia.

Ketiga, jati diri bahasa Paser kurang menonjol dibanding bahasa lain. Memang di Paser dan di Penajam Paser Utara, penutur asli bahasa Paser sangat mudah dikenali meskipun mereka berbicara dalam bahasa Indonesia. Hal yang sama juga untuk penutur bahasa lain. Namun di luar kedua daerah ini, katakanlah di Balikpapan, di saat kondisi semua orang berbahasa Indonesia, lebih mudah menemukan orang dengan latar belakang bahasa asli Banjar, Jawa, atau Bugis dibanding penutur asli bahasa Paser.

Keempat, jumlah penutur bahasa Paser tergolong sedikit. Tidak ada riset resmi terkait jumlah pasti penutur bahasa Paser. Namun jika dilihat dari jumlah penduduk Paser dan PPU, kira-kira penutur aktif bahasa Paser saat ini sekitar 200 ribuan. Jumlah ini tergolong sedikit untuk bisa mempertahankan penggunaan sebuah bahasa. Namun jika jumlah ini tetap menggunakan bahasa Paser secara konsisten maka hasil yang diperoleh dalam satu abad mendatang, jumlah penutur bahasa Paser bisa sama dengan sekarang.

Kelima, di Paser dan PPU, semua orang lancar berbahasa Indonesia. Sekilas ini merupakan hal yang baik bagi Paser, karena jadi pertanda masyarakat Paser melek literasi. Di sisi lain, ini membuat para pendatang di Paser merasa tidak perlu belajar bahasa Paser. Toh komunikasi akan tetap berjalan dengan baik tanpa harus belajar bahasa Paser. Dan kenyataannya, di pedalaman manapun di Paser, semua orang bisa berbahasa Indonesia. Bandingkan dengan Gresik, salah satu penyangga ibukota Provinsi Jawa Timur, di mana ada masyarakatnya yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga orang yang datang mau-tidak mau harus bisa berbahasa Jawa.

Di balik masalah di atas, ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar bahasa Paser bisa tetap eksis di muka bumi. Yaitu:

Pertama, jangan malu berbahasa Paser. Tidak perduli apa latar belakang suku dan budaya, tapi kalau tinggal di Paser, seharusnya bisa memberikan kontribusi untuk bahasa Paser. Mari kembali belajar bahasa Paser lalu mengucapkannya sesering mungkin. Jangan terpengaruh pada lancar tidaknya, karena sebuah garis yang panjang dimulai dasi satu titik.

Kedua, ajarkan bahasa Paser di sekolah. Saat ini di PPU, muatan lokal bahasa Paser kembali diajarkan. Di Paser, dulu pernah, kini tidak lagi. Pada tahun 2007, ada buku ditulis dalam bahasa Inggris untuk murid SD kelas IV, V dan VI. Judulnya, English for Pasirese.

Ketiga, perbanyak buku dan kamus dalam bahasa Paser, lalu perluas pasarannya. Jika perlu, buku-buku tersebut disebarkan secara gratis ke perpustakaan desa, perpustakaan sekolah dan di pusat-pusat baca lainnya.

Keempat, media harus bisa memainkan peran. Saat ini di Paser baru satu media yang menyediakan rubrik bahasa Paser. Yaitu Radio Suara Sunnah 88.5 FM. Di tempat lain ada juga, seperti bahasa Kutai di halaman depan edisi cetak Koran Kaltim, meskipun cuma 1 kalimat. Di Kalimantan Selatan, ada kolom khusus bahasa Banjar di Surat Kabar Harian, kemudian di Makassar ada radio khusus bahasa Makassar, dan di Samarinda ada radio berbahasa Jawa.

Kelima, biasakan anak-anak berbicara dalam bahasa Paser. Bahkan kalau bisa disertai dengan sedikit ‘paksaan’. Fenomena di dalam masyarakat Paser saat ini, banyak orang tua yang baru mengeluarkan kosakata bahasa Paser jika dalam keadaan marah. Sehingga, kosa kata yang dikuasai anak-anak terbatas pada ungkapan tertentu, seperti di saat marah, atau sedang serius.

Sebagai penutup, mari kita, masyarakat Paser untuk bersama-sama melestarikan bahasa Paser. Kalau perlu posisi Paser kelak bisa seperti Betawi di ibukota. Kelak jika ibukota negara sudah ada di Kalimantan Timur.


Tana Paser, 24 Februari 2020

Penulis

Kepala Subbagian Komunikasi Pimpinan

Abd. Kadir Sambolangi, S.S., M.A.

Bagikan ke :

Banner

shadow

Berita Terkait

Dimuat dalam 0.2088 detik dengan memori 0.95MB.